Seorang jebolan kelas 5 SD di Jember, Jawa Timur, merintis sebuah sekolah dasar. Kini sekolah itu sudah memiliki 450 murid yang tak harus membayar uang sekolah alias gratis!
Adalah Jufri Umar yang tidak bisa menyelesaikan sekolah dasarnya dengan dua alasan. Pertama, karena ia harus membantu orang tuanya mencari nafkah. Kedua, karena di sekolahnya tak ada lagi murid yang mau belajar, sehingga sekolah itu terpaksa ditutup. “Karena saya pernah merasakan begitu, saya selalu berdoa bahwa kalau suatu hari bila saya kaya, saya akan memberikan sekolah gratis pada seluruh warga desa. Eh, belum kaya ternyata sudah dikabulkan,” kata Jufri yang tak pernah memiliki sepatu ini.
Tentu saja ini bukan cerita sulap, karena Jufri memiliki perjuangan yang berat untuk membangun sekolah gratis itu selama puluhan tahun. Dia bahkan rela mengorbankan uang pendapatan pribadi dari pekerjaan serabutannya untuk bisa membesarkan sekolah itu.
Pada tahun 1982, saat lulusan SMEA ini sedang jalan-jalan, ia melihat anak-anak pemetik teh tidak bersekolah karena ketiadaan guru. Serta merta ia menawarkan diri untuk menjadi guru mereka. Maka sejak saat itu mulailah Rudi dan anak-anak pemetik teh melakukan kegiatan belajar mengajar dengan beralas tikar di los penimbangan teh. “Saya Cuma berpikir, masa di jaman begini masih ada anak yang gak bisa sekolah, padahal tempatnya kan gak jauh dari ibu kota,” kata guru yang memiliki kelumpuhan kaki kanannya ini.
Untuk membeli kapur tulis, Rudi pun harus merelakan uang penghasilannya sebagai tukang parkir dan penjaga toilet di wilayah Puncak. Berkat bantuan seorang dermawan, sekolah perintis itu pun kini sudah memiliki sebuah bangunan dan sekitar 160 murid. Meski begitu, tak ada yang berubah dari kehidupan Rudi, ia masih menjadi tukang parkir dan tetap sebagai guru honorer bergaji rendah.
Urusan honor rendah sepertinya bukan halangan bagi Rudi dan nara sumber Kick Andy lainnya, yakni Ridwan Dalimunthe dan Nurlela. Pasangan suami istri ini, menjadi guru sejak tahun 1987 di sebuah sekolah swadaya yang dibangun warga Dusun Aek Pastak, Barumun Tengah, Tapanuli. Sebuah sekolah yang tidak lebih baik dari kisah Laskar Pelangi ini awalnya hanya memiliki 10 murid. Kini sekolah itu memiliki 60 murid.
Tak banyak guru yang bertahan untuk mengajar di sekolah yang berdiri sejak tahun 1968 ini, alasan utamanya adalah karena honor yang sangat minim, malah kadang hanya dibayar sejumlah kaleng beras saja. “Saya mau mengajar karena ini desa saya, kalau tidak kita siapa lagi,” kata Ridwan yang lulusan SD dan sehari-hari bekerja sebagai petani ini.
Sehari-hari Ridwan dan Nurlela harus mengajar masing-masig tiga kelas. “Ruangan sekolah kami hanya satu ruangan, jadi kami sekat jadi dua ruang kelas. Sebelah untuk kelas I,II,III dan sebelah lagi untuk kelas IV,V,dan VI,” ujar Nurlela.
Sementara itu, dari Jakarta Kick Andy menampilkan seorang guru yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan alias tuna netra. Nie Ing Han yang buta sejak usia 41 tahun adalah seorang lulusan ITB yang kini menjadi guru les fisika dan matematika. Pasti bukanlah hal mudah jika seorang tuna netra harus mengajarkan berbagai rumus. “Saya bisa menulis di papan tulis seperti layaknya guru, tapi setelahnya saya tak bisa lihat apa yang saya tulis,” ujar Ning In Han saat tampil di Kick Andy.
Ning memang memiliki cara tersendiri untuk mengajar dan membuat muridnya sangat kagum pada keahliah fisika dan matematikanya. Sebuah perjuangan tersendiri bagi seorang tuna netra yang masih mau berbagi ilmu.
Inilah sebuah episode khusus tentang kepedulian sejumlah orang terpilih di dunia pendidikan, serta perjuangan mereka dalam melawan hambatan dan keterbatasan. Sebuah kisah penuh inspirasi, yang akan mengudang rasa terimakasih pada kemauan dan pengorbanannya sebagai guru.
Terimakasih Guruku
(Cipt. Sri Widodo)
Terimakasih kuucapkan pada guruku yang luhur
Ilmu yang berguna, selalu dilimpahkan
Untuk bekalku nanti..
Setiap hari ku dibimbingnya agar tumbuhlah bakatku
Kan kuingat selalu nasehat guruku
Trimakasih ku ucapkan..
Sumber : kickandy.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar