Andaryoko Wisnu Prabu (88), pensiunan Sekretaris Karisidenan Semarang, Jawa Tengah mengaku dirinya sebagai Shodancho Supriyadi, pahlawan nasional pemimpin pemberontakan Pembela Tanah Air (Peta), Blitar yang selama ini dinyatakan hilang. Andaryoko menceritakan, dirinya mantan Menteri Keamanan Rakyat pertama di masa Bung Karno, pengawal utama Presiden Soekarno, dan memiliki nama panggilan khusus dari Bung Karno yakni Sup.
Bukan hanya cerita, Andaryoko juga menunjukkan sejumlah foto diri dan istrinya saat berada di antara pertemuan Bung Karno. Ia memiliki foto lainnya semasa masih muda yang menurutnya sama dengan foto yang tertera di buku-buku ilmu sejarah.
Warga Jalan Mahesa Raya No 1, kompleks Perumahan Kekancanmukti, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang ini mengaku dalam sejumlah foto yang ia miliki tidak berkumis beda dengan kondisi sekarang. Ia mengaku, memelihara kumis untuk menyembunyikan identitas dirinya.
Alasan menyembunyikan identitas diri sebagai Supriyadi selama ini karena menganggap pascakekalahan memimpin pemberontakan Peta tahun 1945, situasi tidak aman. Alasan lain, karena malu kalah perang akibat kurang personel dan persenjataan.
Cucu Andaryoko, Bachtiar (30) mengaku, sebenarnya dirinya mendapat pengakuan Andaryoko sebagai Supriyadi sejak tahun 2003. Andaryoko menceritakan bahwa dirinya tahu dengan detail kejadian sejarah.
Istri Andaryoko, almarhumah Fatma Fatandari yang berasal dari Pekalongan sudah meninggal tahun 2004 dan hasil pernikahannya, ia memiliki empat anak dengan delapan cucu.
Orang Ke-10
Pengakuan Andaryoko sebagai Supriyadi, pahlawan nasional akhirnya berkembang. Sejumlah pihak baik dari Pemerintah Provinsi Jateng, Polda Jateng, maupun Pemerintah Kota Blitar datang ke Semarang untuk melihat kasus pengakuan Andaryoko dari dekat.
Kepala Bagian Humas Pemkot Blitar, I Made Sukawardika mengatakan, pengakuan menjadi Supriyadi, pejuang Peta sudah berulang kali terjadi. Pengalaman sebelumnya, seluruhnya pengakuan bohong.
"Ini orang kesepuluh yang mengaku Supriyadi," kata Made.
Made menjelaskan, pada pengakuan sebelumnya, Pemkot Blitar tidak pernah mempedulikan. Namun, berbeda saat media massa memberitakan soal pengakuan Andaryoko menjadi Supriyadi.
"Kalau pengakuan yang dulu-dulu berdasarkan `klenik` aliran kebatinan. Tetapi untuk pengakuan Andaryoko dilengkapi dengan data, foto, cerita, pakar sejarah, bahkan buku yang menulis adalah sejarawan dan dilakukan bedah buku. Jadinya kami proaktif ingin mengetahui hal ini," katanya.
Made bersama Yusuf Effendi, dari bagian Kesbang Linmas Blitar serta satu orang kameramen ditugaskan Wali Kota Blitar untuk langsung menemui Andaryoko dan mencari informasi yang berkaitan dengan hal tersebut. Sampai saat ini Pemkot Blitar masih mengakui Supriyadi sebagai ikon sejarah Kota Blitar bersama Bung Karno.
"Kami ke sini dengan surat tugas dari walikota untuk mencari informasi soal Andaryoko," kata Made.
Made menjelaskan, jika benar Andaryoko adalah Supriyadi pejuang Peta, maka Pemkot Blitar akan membawa Andaryoko ke Blitar untuk menceritakan kepada masyarakat. Pemkot Blitar siap memfasilitasi seluruh hal yang diperlukan termasuk keamanan.
Oleh karena itu, Made menambahkan, saat ketemu langsung dengan Andaryoko satu pertanyaan yang akan langsung diajukan adalah soal pengakuan Andaryoko. "Kalau Andaryoko berani mengatakan `saya Shodancho Supriyadi`, maka kami akan langsung melakukan pembuktian. Kami akan mengajaknya ke Blitar," katanya.
Namun, kalau yang bersangkutan bukan Supriyadi maka Pemkot Blitar berharap kepada aparat kepolisian agar bertindak tegas dan mencegah hal-hal tersebut tidak terulang kembali.
"Kami mengharapkan persoalan ini segera tuntas dan segera diperoleh kesimpulan," katanya.
Penelitian
Pengakuan Andaryoko juga menggugah aparat kepolisian melakukan penelitian dan penelusuran yang bersangkutan di antaranya dengan akan melacak asal-usul keluarganya.
"Kita akan memulai dengan melacak siapa Andaryoko dan dari mana asal- usulnya," tegas Kapolda Jateng, Irjen Polisi FX Sunarno.
Kapolda menjelaskan, langkah tersebut diharapkan akan dapat diketahui siapa sebenarnya Andaryoko. Apakah yang bersangkutan benar Supriyadi yang selama ini telah dinyatakan menghilang atau meninggal dunia.
Atau kalau memang tidak benar mengapa dia "melempar" pengakuan kontroversial. Oleh karena itu, terlebih dahulu akan dilihat motivasinya.
"Yang jelas, kalau memang Andaryoko ini Supriyadi ya syukur. Namun kalau tidak, apa motif dan latar belakangnya hingga dia ngaku-ngaku," katanya.
Bagi sejarawan Asvi Marwan Adam, kasus orang mengaku sebagai Supriyadi bukan hal baru dan sudah ada sejak pemerintahan Soeharto dan Try Soetrisno.
Asvi menceritakan, saat Try Soetrisno menjadi Wapres, di Yogyakarta ada saudara tiri Supriyadi, Ki Hutomo Darmadi yang mengaku sebagai Supriyadi. Try Soetrisno kemudian ke Yogyakarta dan mewancarai orang tersebut dengan Bahasa Belanda. Tetapi, yang bersangkutan tidak bisa menjawab.
Salah satu cara untuk mengetahui benar tidaknya Supriyadi bisa lewat bahasa, karena Supriyadi sangat mahir Bahasa Belanda dan Jepang. Supriyadi pernah belajar di Mosvia, lembaga studi Bahasa Belanda saat itu.
Menurut Asvi, terkait pengakuan Andaryoko ada beberapa hal yang bertentangan dengan fakta sejarah. Dalam sejumlah wawancara di Semarang, Andaryoko tidak pernah menyebut Bahasa Belanda maupun Jepang.
"Mungkin dia seorang Peta tapi bukan Supriyadi," kata Asvi.
Bagi warga sekitar, Andaryoko di Semarang cukup lama dikenal sebagai budayawan. Pengakuan Andaryoko sebagai Supriyadi, tentu semua pihak tidak bisa langsung mengklaim benar atau salah.
Pengakuan Andaryoko perlu diselidiki lebih jauh agar hal ini, tidak sekadar menjadi isu mengambang. Sejumlah data dan informasi seperti file foto yang ada serta mempertemukan dengan pihak keluarga, tentu bisa menjadi titik awal untuk menemukan fakta sesungguhnya.(*)
Oleh Nur Istibsaroh
Semarang, (ANTARA News)
Bukan hanya cerita, Andaryoko juga menunjukkan sejumlah foto diri dan istrinya saat berada di antara pertemuan Bung Karno. Ia memiliki foto lainnya semasa masih muda yang menurutnya sama dengan foto yang tertera di buku-buku ilmu sejarah.
Warga Jalan Mahesa Raya No 1, kompleks Perumahan Kekancanmukti, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang ini mengaku dalam sejumlah foto yang ia miliki tidak berkumis beda dengan kondisi sekarang. Ia mengaku, memelihara kumis untuk menyembunyikan identitas dirinya.
Alasan menyembunyikan identitas diri sebagai Supriyadi selama ini karena menganggap pascakekalahan memimpin pemberontakan Peta tahun 1945, situasi tidak aman. Alasan lain, karena malu kalah perang akibat kurang personel dan persenjataan.
Cucu Andaryoko, Bachtiar (30) mengaku, sebenarnya dirinya mendapat pengakuan Andaryoko sebagai Supriyadi sejak tahun 2003. Andaryoko menceritakan bahwa dirinya tahu dengan detail kejadian sejarah.
Istri Andaryoko, almarhumah Fatma Fatandari yang berasal dari Pekalongan sudah meninggal tahun 2004 dan hasil pernikahannya, ia memiliki empat anak dengan delapan cucu.
Orang Ke-10
Pengakuan Andaryoko sebagai Supriyadi, pahlawan nasional akhirnya berkembang. Sejumlah pihak baik dari Pemerintah Provinsi Jateng, Polda Jateng, maupun Pemerintah Kota Blitar datang ke Semarang untuk melihat kasus pengakuan Andaryoko dari dekat.
Kepala Bagian Humas Pemkot Blitar, I Made Sukawardika mengatakan, pengakuan menjadi Supriyadi, pejuang Peta sudah berulang kali terjadi. Pengalaman sebelumnya, seluruhnya pengakuan bohong.
"Ini orang kesepuluh yang mengaku Supriyadi," kata Made.
Made menjelaskan, pada pengakuan sebelumnya, Pemkot Blitar tidak pernah mempedulikan. Namun, berbeda saat media massa memberitakan soal pengakuan Andaryoko menjadi Supriyadi.
"Kalau pengakuan yang dulu-dulu berdasarkan `klenik` aliran kebatinan. Tetapi untuk pengakuan Andaryoko dilengkapi dengan data, foto, cerita, pakar sejarah, bahkan buku yang menulis adalah sejarawan dan dilakukan bedah buku. Jadinya kami proaktif ingin mengetahui hal ini," katanya.
Made bersama Yusuf Effendi, dari bagian Kesbang Linmas Blitar serta satu orang kameramen ditugaskan Wali Kota Blitar untuk langsung menemui Andaryoko dan mencari informasi yang berkaitan dengan hal tersebut. Sampai saat ini Pemkot Blitar masih mengakui Supriyadi sebagai ikon sejarah Kota Blitar bersama Bung Karno.
"Kami ke sini dengan surat tugas dari walikota untuk mencari informasi soal Andaryoko," kata Made.
Made menjelaskan, jika benar Andaryoko adalah Supriyadi pejuang Peta, maka Pemkot Blitar akan membawa Andaryoko ke Blitar untuk menceritakan kepada masyarakat. Pemkot Blitar siap memfasilitasi seluruh hal yang diperlukan termasuk keamanan.
Oleh karena itu, Made menambahkan, saat ketemu langsung dengan Andaryoko satu pertanyaan yang akan langsung diajukan adalah soal pengakuan Andaryoko. "Kalau Andaryoko berani mengatakan `saya Shodancho Supriyadi`, maka kami akan langsung melakukan pembuktian. Kami akan mengajaknya ke Blitar," katanya.
Namun, kalau yang bersangkutan bukan Supriyadi maka Pemkot Blitar berharap kepada aparat kepolisian agar bertindak tegas dan mencegah hal-hal tersebut tidak terulang kembali.
"Kami mengharapkan persoalan ini segera tuntas dan segera diperoleh kesimpulan," katanya.
Penelitian
Pengakuan Andaryoko juga menggugah aparat kepolisian melakukan penelitian dan penelusuran yang bersangkutan di antaranya dengan akan melacak asal-usul keluarganya.
"Kita akan memulai dengan melacak siapa Andaryoko dan dari mana asal- usulnya," tegas Kapolda Jateng, Irjen Polisi FX Sunarno.
Kapolda menjelaskan, langkah tersebut diharapkan akan dapat diketahui siapa sebenarnya Andaryoko. Apakah yang bersangkutan benar Supriyadi yang selama ini telah dinyatakan menghilang atau meninggal dunia.
Atau kalau memang tidak benar mengapa dia "melempar" pengakuan kontroversial. Oleh karena itu, terlebih dahulu akan dilihat motivasinya.
"Yang jelas, kalau memang Andaryoko ini Supriyadi ya syukur. Namun kalau tidak, apa motif dan latar belakangnya hingga dia ngaku-ngaku," katanya.
Bagi sejarawan Asvi Marwan Adam, kasus orang mengaku sebagai Supriyadi bukan hal baru dan sudah ada sejak pemerintahan Soeharto dan Try Soetrisno.
Asvi menceritakan, saat Try Soetrisno menjadi Wapres, di Yogyakarta ada saudara tiri Supriyadi, Ki Hutomo Darmadi yang mengaku sebagai Supriyadi. Try Soetrisno kemudian ke Yogyakarta dan mewancarai orang tersebut dengan Bahasa Belanda. Tetapi, yang bersangkutan tidak bisa menjawab.
Salah satu cara untuk mengetahui benar tidaknya Supriyadi bisa lewat bahasa, karena Supriyadi sangat mahir Bahasa Belanda dan Jepang. Supriyadi pernah belajar di Mosvia, lembaga studi Bahasa Belanda saat itu.
Menurut Asvi, terkait pengakuan Andaryoko ada beberapa hal yang bertentangan dengan fakta sejarah. Dalam sejumlah wawancara di Semarang, Andaryoko tidak pernah menyebut Bahasa Belanda maupun Jepang.
"Mungkin dia seorang Peta tapi bukan Supriyadi," kata Asvi.
Bagi warga sekitar, Andaryoko di Semarang cukup lama dikenal sebagai budayawan. Pengakuan Andaryoko sebagai Supriyadi, tentu semua pihak tidak bisa langsung mengklaim benar atau salah.
Pengakuan Andaryoko perlu diselidiki lebih jauh agar hal ini, tidak sekadar menjadi isu mengambang. Sejumlah data dan informasi seperti file foto yang ada serta mempertemukan dengan pihak keluarga, tentu bisa menjadi titik awal untuk menemukan fakta sesungguhnya.(*)
Oleh Nur Istibsaroh
Semarang, (ANTARA News)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar